Pertanyaan seorang remaja desa tentang kartu identitas digital baru Rwanda

Di pedesaan Rwanda, di mana hari dimulai dengan suara ayam jantan dan kehidupan berjalan seirama matahari, sebuah jenis percakapan baru secara diam-diam mulai menyebar di desa-desa. Ini tidak terjadi di media sosial atau pertemuan tingkat tinggi, tetapi di jalanan berdebu pedesaan, titik air, dan obrolan malam di bawah pohon eukaliptus. Orang-orang sedang berbicara secara kritis dan mendalam tentang sesuatu yang disebut Smart Digital ID. BACA JUGA: Rwanda akan menghabiskan Rwf12 miliar untuk ID digital tahun fiskal berikutnya. Selain itu, di antara mereka yang bertanya adalah seorang tokoh yang kita kenal baik. Anak desa itu. Ia bukan orang nyata, tetapi ia mewakili banyak orang. Ia putra petani di Nyamasheke, penjual toko di Gatsibo, siswa yang berjalan jauh ke sekolah di Burera. Ia setiap warga Rwanda biasa yang hidupnya lebih dipengaruhi oleh pola cuaca daripada sinyal Wi-Fi. Dan seperti banyak orang lain, ia telah mendengar berita: bahwa kartu identitas nasional yang digunakannya untuk mengakses layanan, bukti keberadaannya dalam negara modern, sedang berubah. Ia tidak takut pada teknologi. Sebaliknya, ia menerima segala sesuatu yang dapat mempermudah kehidupan, mempermudah akses ke perawatan kesehatan, perbankan, pendidikan, bahkan pemungutan suara. Namun, dengan ID Digital Cerdas ini yang menjanjikan keamanan biometrik melalui sidik jari dan pemindaian iris, ia bertanya-tanya keras: “Apakah ini akan mengubah hidupku menjadi lebih baik, atau akan meninggalkanku diam-diam di belakang?” Pemerintah Rwanda, melalui Badan Identifikasi Nasional (NIDA), sedang mendorong visi berani: untuk mengdigitalkan identitas dan menyederhanakan layanan publik. Ini adalah langkah yang patut diapresiasi dalam transformasi digital yang lebih luas di Rwanda, membangun pada warisan inovasi dan ambisi. Namun, di lembah dan bukit-bukit tempat koneksi internet adalah kemewahan dan ponsel pintar langka, pertanyaan-pertanyaan menumpuk seperti debu di jalan kering. Pertanyaan pertama: Apa yang terjadi pada ID saya saat ini? Bagi anak desa itu, kartu ini bukan hanya plastik. Ini adalah jalan hidup. Ia membawanya ke perawatan kesehatan di puskesmas setempat. Ia membuka pintu transfer uang tunai, pinjaman koperasi, dan ujian sekolah. Sekarang, ia diberitahu bahwa kartu ini akan dihapus secara bertahap. Apakah ia perlu mendaftar lagi? Apakah itu akan memakan biaya? Bagaimana jika ia tidak memiliki dokumen untuk mendaftar, atau waktu untuk berdiri dalam antrian panjang? Bagaimana jika pemindai biometrik tidak mengenali sidik jarinya yang rusak akibat bertahun-tahun bekerja di pertanian? Ini bukan kekhawatiran abstrak. Mereka berakar pada pengalaman nyata sistem yang kadang gagal, jarak yang terlalu jauh, atau kebijakan yang lupa pada jarak terakhir. Pertanyaan lain: Bagaimana ID Cerdas ini bekerja di tempat di mana listrik sering padam, data seluler mahal, dan ponsel pintar dibagikan antar saudara? Jika ID bergantung pada aplikasi seluler atau pembaca sidik jari, apa yang terjadi ketika teknologinya tidak ada, atau rusak? Apakah akan ada alternatif—cadangan offline, versi kertas, atau pejabat desa yang dapat memverifikasi identitas seseorang tanpa memindai iris? Dan bagaimana dengan privasi? Anak desa itu mendengar bahwa data biometriknya—sidik jari, pemindaian mata—akan disimpan dalam basis data nasional. Ia tahu bahwa data adalah kekuasaan. Jadi, ia bertanya: siapa yang mengontrol atau menjaga informasi ini? Siapa yang bisa mengaksesnya? Apa yang terjadi jika data tersebut diretas, atau disalahgunakan? Ia tidak ingin identitasnya menjadi kerentanan. Ia ingin identitasnya menjadi perlindungan. Lalu datang rasa takut yang lebih tenang tetapi lebih dalam: apakah semua orang bisa menggunakan sistem ini? Bagaimana dengan neneknya yang tidak bisa membaca? Bagaimana dengan sepupunya yang memiliki disabilitas, atau ibu yang belum pernah menggunakan ponsel? Apakah ada dukungan dalam bahasa Kinyarwanda? Apakah seseorang duduk bersamanya, menjelaskan dengan sabar, dan memastikan ia tidak ditinggalkan dalam revolusi digital? Ini bukan pertanyaan seorang pemberontak. Ini adalah pertanyaan seorang warga konstruktif yang ingin termasuk. Jika peluncuran terburu-buru atau sistem tidak siap, keterlambatan layanan bisa terjadi. Kekacauan bisa terjadi. Seorang wanita bisa tiba di rumah sakit dalam kondisi persalinan, hanya untuk diberitahu bahwa ID-nya tidak valid. Seorang siswa bisa dilarang mengikuti ujian. Seorang pensiunan mungkin ditolak menerima tunjangan. Celah birokrasi menjadi tragedi pribadi ketika sistem tidak inklusif. Jadi, apa yang harus dilakukan? Pertama, memperoleh ID Digital Cerdas harus gratis dan mudah diakses oleh semua. Tidak ada biaya tersembunyi, tidak ada kantor yang sulit dijangkau, tidak ada persyaratan yang rumit. Kedua, daerah pedesaan membutuhkan rencana cadangan. Kiosk biometrik di setiap kantor sektor. Alternatif kertas dengan kode QR yang aman. Verifikasi manusia oleh pejabat yang terlatih. Tidak ada yang boleh ditolak layanan karena scanner tidak berfungsi. Ketiga, kepercayaan harus diperoleh. Artinya, hukum jelas tentang perlindungan data, pengawasan ketat atas akses, dan pendidikan publik tentang cara data akan digunakan. Sistem digital tidak bisa berjalan tanpa kepercayaan digital. Keempat, peluncuran harus partisipatif. Ini bukan hanya peningkatan ICT; ini adalah transisi sosial. Libatkan guru-guru, pemimpin desa, dan koperasi pemuda. Biarkan komunitas memiliki proses ini. Mereka akan melindungi apa yang mereka pahami dan membantu membangunnya. Kelima, setiap warga harus memiliki suara ketika sistem gagal. Harus ada nomor telepon bantuan, meja keluhan, pejabat lokal yang siap membantu. Ketika identitas seseorang salah dibaca atau aksesnya diblokir, mereka membutuhkan dukungan cepat, bukan menunggu lama. Akhirnya, prosesnya harus cukup lambat untuk mendengarkan, dan cukup cepat untuk melayani. Program pilot harus memberi informasi bagi peluncuran nasional. Umpan balik harus membentuk desain. Masa depan digital tidak bisa salin-tempel. Harus dikodekan dalam realitas lokal. Anak desa itu menutup matanya dan berpikir bukan tentang mesin, tetapi tentang martabat. Tentang dilihat, dihitung, dan diingat. Tentang tidak perlu berteriak agar didengar. Tentang Rwanda di mana warga pedesaan paling jauh terhubung tidak hanya oleh kabel, tetapi juga oleh kasih sayang. Pertanyaannya bukan penghalang. Mereka adalah undangan untuk membangun yang lebih baik, merancang yang lebih cerdas, dan mencakup lebih banyak. Biarkan ID Digital Cerdas menjadi lebih dari kartu dengan chip dan kode. Biarkan menjadi simbol kepercayaan, akses, dan keanggotaan. Biarkan bekerja di kota dan di lembah. Biarkan mencerminkan kekuatan sistem kita dan kelembutan hati kita. Hanya maka transformasi akan benar-benar lengkap. Penulis adalah analis berpengalaman yang fokus pada kebijakan, transformasi ekonomi, dan keamanan.

Disediakan oleh SBNews Media Inc. (SBNews.info).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top