PR MEDAN –
Suasana di depan Mapolda Sumatera Utara memanas, Kamis siang 3 Juli 2025, saat ratusan mahasiswa membawa sebuah keranda jenazah.
Bukan karena duka baru, tapi sebagai simbol “kematian keadilan” atas kasus pembunuhan Rahmad Dani yang tak kunjung tuntas.
Aksi damai ini digelar sekitar pukul 14.00 WIB oleh Kelompok Mahasiswa Pemerhati Keadilan Sumatera Utara. Mereka memprotes lambannya proses hukum kasus LP/591/II/2025 yang menewaskan Rahmad Dani pada 21 Februari lalu.
Dalam orasi penuh emosi, massa menuntut agar seluruh pelaku segera ditangkap. Sebab, menurut mereka, polisi hanya menahan satu orang, padahal peristiwa tersebut diduga kuat dilakukan secara bersama-sama.
Spanduk-spanduk protes membentang jelas di hadapan polisi. Tulisannya tajam dan penuh kemarahan: “Tangkap Semua Pelaku, Copot Penyidik LP/591/II/2025” dan “Usut Tuntas Bentrokan Berdarah 21 Februari”.
Saling Dorong di Depan Mapolda
Ketegangan sempat meningkat saat massa mencoba mendekati pos penjagaan Polda. Aparat yang berjaga mencegah dengan barikade. Saling dorong pun tak terhindarkan, meski aksi tetap berlangsung damai.
“Kami datang menuntut keadilan. Tapi penyidik yang dijanjikan hadir, justru tidak muncul. Polisi malah tambah banyak. Kami tidak bawa senjata, ini aksi damai,” ujar Arya Sinurat, koordinator aksi.
Sekitar pukul 16.00 WIB, empat perwakilan mahasiswa—termasuk anak korban—diizinkan masuk ke ruang Wassidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumut. Mereka berdialog dengan Kompol Teddy, AKP Siti T.H Halawa, AKP Irwanta Sembiring, dan sejumlah personel lainnya.
Dialog Alot dan Rasa Kecewa
Dalam pertemuan itu, mahasiswa menyatakan AKP Irwanta pernah menjanjikan kehadiran penyidik dalam aksi jilid dua. Namun Irwanta membantah tudingan tersebut.
“Saya tidak pernah menjanjikan. Saya hanya bilang akan komunikasikan. Dan itu sudah saya lakukan tadi pagi,” ujar Irwanta di hadapan peserta aksi.
Kompol Teddy pun memberi saran agar mahasiswa mengirim surat resmi ke Wassidik untuk menjadwalkan gelar perkara khusus yang bisa menghadirkan penyidik.
Namun respons ini justru membuat mahasiswa kecewa.
“Dari awal kami sudah dua kali aksi. Tapi tetap disuruh kirim surat. Kenapa tidak disampaikan sejak awal? Ini terlalu normatif dan berbelit,” ujar Arya dengan nada kesal.
Ia juga mengungkapkan bahwa Wassidik menyebut baru satu orang yang ditahan. Sementara pelaku lainnya masih dalam proses penyidikan, tanpa kejelasan hasil dan waktu.
“Kami minta transparansi. Kenapa baru satu pelaku? Pelaku lainnya bagaimana? Apakah ada intervensi di kasus ini?” kata Arya tegas.
Ultimatum untuk Polda Sumut
Mahasiswa dan keluarga korban memberi ultimatum: jika surat resmi nanti juga diabaikan, mereka akan mengambil langkah hukum sendiri.
“Sudah hampir lima bulan kasus ini tidak jelas. Kalau surat kami nanti juga tidak ditanggapi, kami dan keluarga korban akan turun langsung, menuntut keadilan dengan langkah yang lebih tegas,” ancam Arya.
Tuntut Pengungkapan Penuh dan Hukum Maksimal
Aksi ini menjadi pengingat keras bahwa penegakan hukum tidak boleh lambat apalagi diskriminatif. Mahasiswa mendesak aparat tak hanya patuh prosedur, tapi juga berempati kepada korban dan keluarganya.
Jika terbukti ada lebih dari satu pelaku dalam tragedi 21 Februari, maka Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dapat diberlakukan—yang ancamannya mulai dari penjara 20 tahun, seumur hidup, hingga hukuman mati.***