Jam-jam tak terlihat: Beban tak terucapkan dari pekerjaan rumah tangga perempuan

Pakistan, 4 Juli — Oleh Mobeen Arshad,

Di sebagian besar rumah tangga di seluruh Pakistan, ada ritme tertentu yang dimulai dengan cahaya pertama di pagi hari. Seorang wanita bangun sering kali sebelum yang lainnya dan pekerjaan dimulai: menyiapkan sarapan, mengatur tas sekolah, menyapu lantai, melipat pakaian, mengatur emosi, lalu mengulang semuanya lagi untuk makan malam. Ritme ini jarang terganggu, dan lebih jarang lagi berhenti sejenak.

Yang paling mencolok adalah bahwa tidak ada yang secara resmi diakui sebagai “pekerjaan.”

Di seluruh Asia Selatan, jutaan perempuan mengabdikan hidup mereka untuk mengelola rumah tangga, membesarkan anak, dan membantu orang lain mencapai kesuksesan, seringkali tanpa henti, tanpa hari libur, atau apresiasi. Biro Statistik Pakistan (2023) melaporkan bahwa perempuan melakukan lebih dari 90% pekerjaan perawatan tak berbayar di negara tersebut, tetapi upaya ini terabaikan dalam penilaian ekonomi maupun wacana publik.

Meskipun sering digambarkan sebagai pilihan yang mulia dan memang merawat adalah salah satu peran paling altruistik, peran tersebut jarang dipahami sebagai beban emosional dan psikologis. Bagi wanita yang terkurung dalam ruang yang sama sepanjang hari dan malam, tanpa stimulasi intelektual, mobilitas sosial, atau waktu pribadi, dampaknya pada kesehatan mental sangat nyata. Perasaan lelah, kesepian, bahkan frustrasi terakumulasi secara diam-diam, sering diabaikan sebagai bagian dari “apa yang wanita lakukan.”

Penelitian yang dimuat dalam Journal of the Pakistan Medical Association (2022) mengungkapkan bahwa 42% ibu rumah tangga penuh waktu di perkotaan mengalami gejala depresi sedang hingga berat, yang sering dikaitkan dengan pengabaian emosional, pengakuan yang tidak memadai, serta isolasi sosial.

Ini bukan bermaksud merendahkan nilai berada di rumah bagi banyak orang, rumah adalah tempat kenyamanan, perlindungan, dan makna. Ikatan antara ibu dan anak merupakan salah satu bentuk motivasi yang paling kuat. Namun motivasi tidak dapat menggantikan identitas. Rasa memiliki diri seorang wanita tidak dapat dipertahankan hanya dengan pengorbanan diri.

Filsuf Simone de Beauvoir, dalam buku The Second Sex, memperingatkan bahaya mengurangi peran wanita hanya pada fungsi-fungsi yang mereka jalankan untuk orang lain—ibu, istri, pengasuh—tanpa mengakui keseluruhan kepribadian mereka. Selalu didefinisikan dalam kaitannya dengan orang lain berarti ditolaknya ruang untuk eksis bagi diri sendiri. Demikian pula, Pendekatan Kapabilitas (Capabilities Approach) dari Martha Nussbaum mengingatkan kita bahwa martabat manusia bergantung pada kesempatan untuk memilih, berkembang, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang membentuk kehidupan seseorang. Bagi banyak ibu rumah tangga, pilihan-pilihan ini masih terbatas.

Dalam setting tradisional, asumsi yang sering tetap ada adalah bahwa karena seorang wanita tidak “menghasilkan”, ia berhutang tenaga kerjanya secara tak berujung dan diam-diam. Namun, pekerjaan pengasuhan bukanlah pembayaran utang. Ini adalah kontribusi. Dan kontribusi tanpa pengakuan perlahan berubah menjadi penghapusan.

Konsekuensi dari kelalaian ini menyebar luas. Anak-anak yang dibesarkan oleh pengasuh yang secara emosional kelelahan dapat memendam rasa bersalah atau menjadi acuh tak acuh. Pasangan hidup mungkin salah menafsirkan kesunyian sebagai kepuasan. Sementara itu, wanita itu sendiri mulai merasa tidak terlihat—hadir di setiap ruangan, tetapi jarang benar-benar diperhatikan.

Ini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga masalah sosial. Kerangka budaya kita sering memuja ibu secara teori namun mengabaikan mereka dalam praktiknya. Kita menyebutnya “menghormati” tetapi jarang memberikan kesempatan untuk beristirahat. Kita berbicara tentang “rasa syukur” tetapi lupa akan empati.

Penting untuk memasukkan jam tak terlihat ini ke dalam dialog publik. Penilaian kesehatan mental bagi ibu rumah tangga, keterlibatan sosial, lingkungan pendidikan, serta peningkatan pembagian tugas di rumah dapat memberikan dampak yang signifikan. Yang terpenting, para wanita ini harus dipandang bukan hanya sebagai ibu atau istri, tetapi sebagai individu yang memiliki pemikiran untuk dikembangkan, keterampilan untuk ditampilkan, dan kehidupan yang dapat memberi pengaruh.

Mengakui tenaga kerja yang tidak dibayar bukanlah soal kedermawanan atau simpati, melainkan soal keadilan. Jika masyarakat dibangun di atas fondasi yang setiap hari dipelihara oleh perempuan, maka fondasi tersebut layak lebih dari sekadar pujian singkat. Fondasi itu layak mendapatkan suara, pengakuan, dan nilai yang pantas.

Sarjana Filsafat (Punjab University Lahore)

[email protected]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top