Jalan Menuju Pemulihan Nasional yang Utuh

Liberia baru-baru ini menyaksikan sebuah momen nasional yang mengharukan: upacara pemakaman ulang dua mantan presiden, William R. Tolbert Jr. dan Samuel Kanyon Doe. Kematian mereka, yang terjadi selisih sepuluh tahun, menjadi simbol sejarah negara kita yang penuh gejolak. Presiden Tolbert terbunuh dalam sebuah kudeta militer yang berdarah pada tahun 1980. Sepuluh hari kemudian, tiga belas anggota kabinet senior Tolbert dieksekusi dengan tembakan regu tembak oleh pemerintah militer, dan jenazah mereka dibuang ke dalam kuburan massal.

Sepuluh tahun kemudian, Presiden Doe, pemimpin kudeta tersebut, ditangkap dan dieksekusi pada tahap awal perang saudara Liberia tahun 1990, sehingga secara mendadak mengakhiri pemerintahannya. Presiden Doe ditangkap oleh Pangeran Yormie Johnson–pemimpin Front Patriotik Nasional Independen Liberia (INPFL). INPFL adalah kelompok pemberontak yang memisahkan diri dari Front Patriotik Nasional Liberia yang dipimpin oleh Charles Ghankay Taylor, mantan pejabat rezim Doe dan kini mantan Presiden Liberia yang sedang ditahan.

Perlu disebutkan bahwa bahkan Pangeran Yormie Johnson, yang kemudian menjadi seorang senator dari County Nimba dengan masa jabatan panjang, menerima pemakaman layaknya upacara kenegaraan dengan penghormatan penuh pada masa kemangkatannya.

Keputusan Presiden Joseph Boakai untuk menghormati para pemimpin ini melalui pemakaman ulang yang disponsori negara, yang diambil berdasarkan rekomendasi Truth and Reconciliation Commission (TRC), pada dasarnya bersifat simbolis. Keputusan tersebut setidaknya secara simbolis mengakui perlunya pemulihan nasional. Namun, upacara pemakaman ulang, seberapapun khidmat dan tulusnya, bukanlah pengganti keadilan dan penyembuhan nasional.

Konflik sipil Liberia menelan lebih dari 250.000 korban jiwa. Banyak korban masih terkubur dalam kuburan tanpa tanda atau kuburan massal; yang lain bahkan tidak pernah dikubur sama sekali. Banyak keluarga telah hidup dengan pertanyaan yang tak terjawab dan kesedihan. Keluarga mereka telah menunggu selama puluhan tahun untuk memperoleh penutupan—sebagian mencari pemakaman ulang, sebagian lain menuntut pengakuan, dan hampir semuanya merindukan pengakuan atas penderitaan masa lalu mereka. Pemerintah-pemerintah yang bergantian sejak berakhirnya perang saudara belum menjadikan pemasyarakatan melalui upacara nasional, pendirian monumen nasional, keterlibatan masyarakat, dan sebagainya sebagai prioritas.

Saya menjabat dalam Komite Peringatan Pembantaian Gereja Lutheran di Liberia, dan setiap tahun saya mendengarkan kisah para penyintas dan anak-anak mereka saat mereka menceritakan pengalaman buruk yang mereka alami selama pembantaian pada 29 Juli yang terjadi pada tahun 1990. Pemimpin gereja telah menyelenggarakan ibadah peringatan selama 35 tahun, dan partisipasi pemerintah dalam acara-acara tersebut tetap minimal.

Keluarga para korban masih hidup dengan kenangan akan pembantaian orang-orang yang mereka cintai sementara mencari perlindungan di kompleks gereja. Hingga kini, makam-makam massal tersebut masih berada di areal gereja—sebagai saksi bisu kekerasan dan duka yang belum juga terselesaikan. Keluarga korban, banyak di antaranya kini hidup dalam kemiskinan, menginginkan lebih dari sekadar pengenangan. Mereka menginginkan keadilan ekonomi, pemakaman ulang yang bermartabat, serta pengakuan secara publik atas penderitaan mereka.

Seorang penyintas perang saudara menyatakannya dengan tepat: “Memori bukan hanya tentang apa yang bisa kamu ingat, tetapi juga hal-hal yang kamu berusaha keras untuk tidak dilupakan.” Kutipan ini mencerminkan beban yang banyak ditanggung rakyat Liberia–kenangan yang terukir bukan hanya dalam trauma, tetapi juga dalam perjuangan sehari-hari yang sunyi untuk bertahan hidup dan memberi makna atas kehilangan yang sangat besar.

Pendirian Kantor Kejahatan Perang dan Ekonomi merupakan langkah yang tepat. Namun hingga kini, kantor tersebut belum memulai pekerjaan substantifnya. Liberia tidak bisa membiarkan kantor ini tetap menjadi simbol belaka. Keberhasilannya akan bergantung pada kemauan politik, pendanaan yang berkelanjutan, dan proses yang transparan. Tanpa hal-hal tersebut, kantor ini berisiko menjadi janji lain yang tidak terpenuhi di pascakonflik.


Jalan menuju penyembuhan nasional yang utuh akan memerlukan langkah-langkah berani di bidang-bidang berikut:

Pertama, Liberia membutuhkan kerangka kerja restitusi yang terstruktur. Kerangka ini harus didukung oleh alokasi anggaran secara berkala dan selaras dengan standar internasional. Restitusi harus melampaui pembayaran sekali jalan semata. Hal ini harus mencakup akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dukungan mata pencaharian, serta pemulihan trauma bagi para korban dan keluarga mereka. Restitusi bukan hanya soal finansial—tetapi juga soal mengembalikan martabat serta mengakui tanggung jawab negara. Banyak korban mengalami gangguan permanen pada mata pencahariannya dan akan bergantung pada dukungan resmi pemerintah melalui program-program kesejahteraan sosial untuk memulihkan martabat ekonominya.

Kedua, kita membutuhkan strategi nasional untuk memori kolektif. Memori harus terlihat nyata. Liberia kekurangan monumen nasional yang mencerminkan pentingnya sejarahnya. Tempat-tempat seperti lokasi pembantaian Gereja Lutheran dapat berfungsi sebagai ruang publik yang sakral—tidak hanya untuk berduka tetapi juga untuk pembelajaran. Strategi memori kolektif harus mengutamakan inklusivitas, kepekaan budaya, serta partisipasi para penyintas. Dr. Aaron Weah, seorang ahli keadilan transisional di Ducor Institute, telah melakukan penelitian luas di bidang ini dan memberikan wawasan berharga.

Saya telah menyelenggarakan puluhan kuliah dengan tema, “Refleksi dan Pemulihan: Penyembuhan Melalui Bercerita,” menggunakan buku puisi saya untuk menciptakan ruang aman bagi mereka yang memiliki pengalaman langsung perang, agar dapat merefleksikan dan menghubungkan diri dengan kisah-kisah serupa sebagai jalan untuk merenung dan sembuh. Kami juga menggunakan ruang tersebut untuk mengajarkan siswa dan warga Liberia yang lebih muda, yang tidak memiliki pengalaman langsung perang, agar dapat belajar dan mengambil pelajaran dari sejarah.

Pemulihan nasional yang sejati memerlukan keterlibatan semua kelompok dan korban perang untuk secara bersama-sama, dalam ruang aman, merenung, terhubung, dan benar-benar berduka atas kehilangan orang-orang tercinta mereka. Pemakaman ulang Presiden Tolbert dan Presiden Doe memberikan sebuah kesempatan bagi percakapan nasional—bukan untuk memperkuat amnesia kolektif, tetapi untuk membangun sebuah bangsa yang berlandaskan kebenaran sejarahnya, seburuk apa pun babak-babak tertentu dari masa lalunya.


Lekpele M. Nyamalon adalah seorang penyair, penulis, profesional ICT/Telekomunikasi asal Liberia dan penulis buku “Scary Dreams: An Anthology of the Liberian Civil War.”


Dia dapat dihubungi melalui
[email protected]

Hak Cipta 2025 Liberian Observer. Seluruh hak dilindungi undang-undang. Didistribusikan oleh AllAfrica Global Media ().


Ditandai:


Liberia,


Konflik, Perdamaian dan Keamanan,


Afrika Barat

Disediakan oleh SBNews Media Inc. (
SBNews.info
).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top