Sebagai upaya untuk merumuskan kembali narasi seputar migrasi tenaga kerja dan rekrutmen yang adil di seluruh Afrika Barat terutama di media, para jurnalis, pemimpin serikat pekerja, serta advokat buruh dari 12 negara anggota ECOWAS berkumpul di Abuja pada tanggal 24 hingga 25 Juni 2025 untuk mengikuti lokakarya validasi tingkat tinggi mengenai adaptasi Toolkit Media ILO.
Diselenggarakan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) bekerja sama dengan Federasi Jurnalis Afrika (FAJ) serta didukung oleh mitra-mitra termasuk Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) dan Organisasi Serikat Pekerja Afrika Barat (OTUWA), lokakarya dua hari ini bertujuan untuk memberikan bekal kepada jurnalis agar dapat melaporkan isu-isu migrasi tenaga kerja dan hak-hak pekerja migran secara lebih etis, akurat, dan konstruktif.
Mewakili Direktur Negara ILO untuk Nigeria, Ghana, Liberia, dan Sierra Leone, Ny. Inviolata Chinyangarara, Spesialis Kegiatan Pekerja (ACTRAV), menekankan peran yang tidak tergantikan dari media dalam membentuk persepsi publik mengenai migrasi.
“Dengan melaporkan pengalaman para pekerja migran, media dapat mengubah narasi dari rasa takut dan permusuhan menuju empati dan hak asasi manusia,” kata Chinyangarara.
Jurnalisme yang etis dan terinformasi dapat mengungkap pelanggaran hak asasi manusia, menangkal stereotip, serta menyoroti kontribusi positif para migran. Namun, narasi negatif juga bisa diperkuat, yang berujung pada prasangka dan stigmatisasi.
Ia lebih lanjut menggambarkan toolkit tersebut sebagai seruan untuk bertindak, sebuah alat yang meminta sistem bertanggung jawab dan meninggikan sisi kemanusiaan di balik migrasi, mendorong kebijakan-kebijakan yang berlandaskan keadilan dan transparansi.
“Hari ini, kita berkumpul bukan hanya sebagai para profesional, tetapi juga sebagai pendukung keadilan sosial dan pekerjaan yang layak bagi semua di kawasan ECOWAS,” katanya.
BACA JUGA DARI NIGERIAN TRIBUNE: AS akan memeriksa media sosial sebelum memberikan visa pelajar
Workshop ini berlangsung dalam konteks dinamika migrasi tenaga kerja yang kompleks di kawasan Afrika Barat, di mana individu-individu menyeberangi perbatasan demi mencari peluang ekonomi—yang seringkali berisiko mengalami eksploitasi, kondisi perjalanan yang tidak aman, serta celah kebijakan.
Chinyangarara memperingatkan akan bahaya-bahaya kerja paksa dan rekrutmen yang tidak etis, mencatat bahwa hal tersebut bukan hanya pelanggaran terhadap standar tenaga kerja internasional tetapi juga tindakan-tindakan yang menghilangkan martabat, keselamatan, dan akses individu terhadap pekerjaan layak.
Di pihaknya, Tuan Pa Louis Thomasi, Direktur Regional kantor IFJ Afrika di Dakar, Senegal, menekankan bahwa jurnalis Afrika harus menjawab tanggung jawab untuk melakukan peliputan secara etis, akurat, dan sensitif terhadap gender, terutama di era digital yang rentan terhadap disinformasi dan penyalahgunaan kecerdasan buatan dalam media.
“Rencana Aksi bertujuan memastikan media memainkan peran penting dalam mempromosikan hak-hak migran dan memajukan kisah Afrika,” kata Thomasi.
Ia menjabarkan enam pilar utama Rencana Aksi yang sedang dikembangkan bekerja sama dengan ILO, yaitu: penguatan kapasitas bagi jurnalis Afrika untuk menyajikan kisah-kisah migrasi positif yang berorientasi pada pembangunan; meningkatkan akses terhadap data akurat dan resmi mengenai migrasi tenaga kerja; penggunaan Toolkit Media yang baru saja divalidasi untuk mencegah pemalsuan data; jurnalisme yang sensitif terhadap gender guna mendukung narasi yang inklusif; kampanye kesadaran publik tentang hak-hak dan realitas migrasi tenaga kerja; serta promosi penggunaan terminologi migrasi yang tepat demi meningkatkan pemahaman masyarakat.
“Pelaporan media yang tidak akurat dan berat sebelah dapat menyebabkan penyebaran informasi yang salah, dan dalam kasus terburuk, dapat memicu diskriminasi dan perlakuan tidak adil,” peringat Thomasi.
Presiden Federasi Wartawan Afrika (FAJ), Tuan Omar Faruk Osman, dalam sambutannya, mendesak para praktisi media di seluruh benua untuk menceritakan kisah migrasi tenaga kerja Afrika dari perspektif nasional dan regional guna melawan kesalahan representasi.
“Bagi wartawan Afrika, ini juga tentang memperluas solidaritas kepada saudara dan saudari kami yang bermigrasi untuk bekerja di dalam Afrika maupun ke luar Afrika,” katanya.
Osman menggambarkan ILO Media Toolkit sebagai sumber daya penting yang dirancang untuk mendukung jurnalis dalam upaya mereka melaporkan isu migrasi secara akurat, mendalam, dan berdampak.
Dalam kesempatan yang sama, Comrade John Odah, Sekretaris Eksekutif OTUWA, menyerukan perlunya kolaborasi yang lebih kuat antara media dan serikat pekerja.
“Pertemuan ini akan membantu memberikan wawasan tambahan mengenai cara mengatasi tantangan yang dihadapi oleh para migran dan membuat mereka merasa seperti di rumah sendiri, terutama di kawasan sub-Sahel Afrika Barat,” katanya.
“Kami membutuhkan kemitraan yang kuat dengan media untuk mengangkat isu-isu nyata dalam migrasi tenaga kerja.”
Dari kalangan bisnis, Tuan Thompson Akpabio, Direktur di Nigeria Employers’ Consultative Association (NECA), menekankan pentingnya pelaporan yang akurat dalam pembangunan nasional.
“Wartawan tidak boleh melaporkan migrasi tenaga kerja dari sudut pandang yang bias. Ketika posisi yang benar akhirnya diketahui, kerusakan signifikan mungkin sudah terjadi,” katanya memperingatkan.
“Toolkit media memberikan panduan untuk memastikan profesionalisme, melawan disinformasi, dan menghindari misinformasi.”
Pada akhirnya, acara dua hari tersebut menjadi wujud pembaruan komitmen regional terhadap penyampaian kebenaran, hak asasi manusia, dan jurnalisme pembangunan. Acara tersebut ditutup dengan seruan kuat untuk solidaritas dan peningkatan kapasitas guna memberdayakan para jurnalis di kawasan ECOWAS dalam meliput kisah-kisah migrasi tenaga kerja secara akurat, penuh empati, dan berintegritas.
Disediakan oleh SyndiGate Media Inc. (
Syndigate.info
).