Di tengah hiruk-pikuk pembangunan nasional dan maraknya dialog tentang generasi emas Indonesia tahun 2045, terdapat satu kenyataan yang jarang terangkat: semakin rentannya kondisi psikologis anak-anak dan remaja kita. Generasi muda yang dipandang sebagai calon pemimpin masa depan ternyata secara diam menyimpan luka batin yang tak terlihat—luka yang belum pernah benar-benar tersentuh dalam diskusi publik, apalagi dalam kebijakan pemerintah.
Mereka adalah generasi yang membawa luka batin: anak-anak yang dibesarkan dalam suasana penuh tekanan, tetapi sedikit dukungan emosional. Tampaknya mereka aktif, tersenyum di foto keluarga, atau sibuk mengikuti berbagai kursus tambahan. Namun di balik itu semua, banyak di antara mereka yang merasa kesepian, kebingungan, dan terbebani oleh harapan-harapan tidak realistis dari orang tua, sekolah, maupun masyarakat.
Cedera yang Tidak Kelihatan di Balik Keberhasilan
Bertahun-tahun lamanya, sistem pendidikan kita lebih mengutamakan pencapaian akademik daripada kesehatan mental para siswa. Anak-anak didorong untuk menjadi juara kelas, mahir dalam berbagai keterampilan, serta tampil sempurna di platform media sosial. Namun, ketika mereka merasa cemas, takut tidak berhasil, atau mulai kehilangan semangat, respon yang mereka dapatkan seringkali berupa penilaian, bukan empati.
Kesehatan mental masih sering dianggap sebagai isu yang sensitif. Anak yang menangis kerap dianggap sebagai anak yang manja. Remaja yang mengalami stres dinilai tidak kuat menghadapi tekanan. Dalam banyak situasi, keluarga justru menjadi pihak pertama yang mengabaikan tanda-tanda bahaya ini. Anak tidak memiliki ruang untuk menceritakan perasaannya. Bahkan ketika mereka berusaha berbicara, respon yang didapat seringkali seperti, “Itu hanya perasaanmu sendiri,” atau “Kamu kurang bersyukur.”
Luka emosional yang tidak diatasi sejak awal berpotensi berkembang menjadi gangguan kejiwaan serius seperti depresi, gangguan cemas, hingga munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup. Menurut laporan WHO dan UNICEF, satu dari tujuh anak dan remaja menghadapi masalah kesehatan mental, dan sebagian besar tidak pernah mendapatkan penanganan yang memadai.
Sekolah Belum Ramah Emosi
Sekolah seharusnya menjadi tempat kedua yang aman bagi siswa, setelah rumah mereka. Sayangnya, kenyataan yang terjadi justru berbeda. Banyak sekolah masih memposisikan guru bimbingan konseling sebagai pihak yang bertugas mendisiplin, bukan sebagai pendamping emosional. Seorang guru BK sering kali harus menangani ratusan siswa tanpa dibekali pelatihan yang cukup dalam bidang psikologi perkembangan anak.
Sebaliknya, kurikulum nasional masih belum sepenuhnya mencakup pendidikan emosional sebagai bagian dari proses belajar. Anak-anak diberi pelajaran tentang matematika, sains, dan bahasa, namun tidak diajarkan cara mengelola stres, mengidentifikasi emosi, atau meminta pertolongan saat merasa tertekan.
Dampaknya, banyak pelajar merasa bahwa sekolah justru menjadi sumber tekanan, bukan lingkungan yang mendukung perkembangan. Mereka cenderung menyembunyikan perasaan sebenarnya, menahan emosi, serta menciptakan citra diri yang diterima oleh orang dewasa, meski hal itu membuat mereka semakin jauh dari kepribadian aslinya.
Dunia Digital: Sumber Berlimpah Luka Emosional
Media sosial, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak dan remaja, ternyata membuka peluang munculnya perbandingan sosial, rasa cemas, serta tekanan batin. Mereka dihadapkan pada citra kehidupan yang tampak sempurna dari teman-temannya: wajah yang bersih tanpa cela, tubuh yang ideal, pencapaian yang memukau, serta gaya hidup yang glamor.
Dalam kondisi seperti itu, banyak remaja merasa tidak memadai. Tidak cukup cerdas, tidak cukup menarik, atau tidak cukup “gaya” untuk mendapatkan pengakuan. Perlahan tapi pasti, perasaan rendah diri, rasa malu, hingga keinginan untuk menghilang mulai muncul dalam diam. FOMO (fear of missing out), body shaming, dan cyberbullying menjadi tantangan sehari-hari yang secara perlahan menggerogoti kesehatan mental mereka.
Sayangnya, orang tua sering tidak menyadari hal ini karena melihat anak mereka sibuk bermain ponsel, tertawa di depan layar, atau aktif di TikTok. Padahal, dunia maya kerap dijadikan sebagai pelarian dari rasa kesepian dan luka yang belum sembuh.
Negara Tidak Bisa Tinggal Diam
Jika kita sungguh-sungguh ingin membangun peradaban yang unggul, maka fokus kebijakan tidak boleh semata-mata terpusat pada pembangunan infrastruktur fisik dan pencapaian ekonomi. Kesehatan mental para pemuda harus dijadikan sebagai prioritas utama dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia.
Pemerintah harus segera melakukan reformasi pada kebijakan pendidikan agar lebih memperhatikan aspek psikososial. Setiap lembaga pendidikan wajib memiliki psikolog atau konselor yang telah terlatih secara profesional. Puskesmas dan RSUD juga perlu menyediakan layanan konsultasi kejiwaan dengan biaya yang terjangkau. Selain itu, kurikulum pendidikan perlu mengintegrasikan materi tentang literasi emosi, kecerdasan sosial, serta keterampilan dalam mengelola stres.
Selain itu, kampanye nasional mengenai pentingnya kesehatan mental anak perlu disampaikan secara luas, inklusif, dan tanpa stigma. Orang tua perlu dibekali pelatihan agar bisa menjadi pendengar yang aktif serta penunjang kesejahteraan emosional anak. Media juga memiliki peran krusial dalam membentuk opini publik yang positif dan mendukung pemulihan secara bersama-sama.
Kita Tidak Dapat Lagi Mengabaikan
Ini bukan soal generasi yang tidak kuat, melainkan tentang dunia yang semakin rumit dan penuh tuntutan. Anak-anak saat ini lahir dalam masa krisis—krisis lingkungan, krisis ekonomi, krisis identitas, serta krisis hubungan. Mereka tidak hanya membutuhkan makanan bergizi atau sekolah berkualitas. Mereka memerlukan lingkungan yang penuh perhatian, orang dewasa yang benar-benar ada untuk mereka, dan negara yang mengerti bahwa trauma emosional bukan hanya masalah individu semata.
Saatnya kita berhenti mengatakan “anak-anak masa kini tidak pandai bersyukur” dan mulai merenung, “Apakah kita sudah benar-benar hadir untuk anak-anak kita?”
Jangan menunggu sampai tragedi terjadi. Jangan menunggu hingga anak-anak kita berteriak dalam kesunyian. Ayo bersama-sama tingkatkan kesadaran bahwa generasi emas tidak akan muncul dari generasi yang dibiarkan menyimpan luka tanpa dukungan dan pertolongan.