BPJS Kesehatan Klaim Aset DJS Tetap Sehat Meski Audit Temukan Defisit Rp7,1 Triliun di 2024

SBNEwsJAKARTA — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyatakan bahwa kondisi keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan masih berada dalam batas yang sehat hingga tahun 2024, meskipun laporan kinerja terkini menunjukkan adanya defisit pembiayaan sebesar minus Rp7,14 triliun berkaitan dengan pendapatan tahun 2024 serta penurunan aset menjadi Rp82,4 triliun.

Rizky Anugrah, Juru Bicara BPJS Kesehatan, menyatakan bahwa hingga akhir tahun 2024, realisasi aset bersih Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan sebagai indikator utama tetap tercatat positif, yaitu sekitar Rp49,52 triliun.

“Realisasi kondisi aset bersih Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan hingga tahun 2024 masih berada di zona positif, sekitar Rp49,52 triliun. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 Pasal 37 Ayat 1 yang menyatakan bahwa kesehatan finansial aset DJS diukur berdasarkan aset bersih DJS,” kata Rizky kepadaBisnis, Jumat (4/7/2025).

Ia menjelaskan, sesuai dengan regulasi pemerintah yang berlaku, kondisi keuangan aset DJS dinilai dari kemampuan aset bersih untuk menanggung perkiraan pembayaran klaim selama minimal 1,5 bulan hingga maksimal 6 bulan ke depan.

“Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kondisi kesehatan keuangan Program JKN masih dalam keadaan baik dan sudah memenuhi ketentuan yang berlaku, yaitu sebesar 3,4 bulan klaim per bulan,” tutur Rizky.

Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan bahwa defisit BPJS Kesehatan menjadi tanda peringatan bagi kelangsungan sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Menurutnya, kondisi defisit sebenarnya sudah mulai terlihat pada tahun 2023 lalu, meskipun saat itu klaim sudah melebihi 100% dari penerimaan iuran, masih terdapat surplus. Namun pada tahun 2025 ini, defisit diperkirakan akan semakin membesar karena rasio klaim ditaksir mencapai 111%.

“Kondisi ini sudah melebihi ambang batas 100%. Jika dibiarkan terus, aset bersih akan terkuras habis,” ujar Timboel kepada Bisnis, Jumat (4/7/2025).

Sebagai informasi, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat defisit sebesar Rp7,14 triliun selama tahun 2024, setelah sebelumnya lima tahun berturut-turut mengalami surplus. Keadaan ini menjadi tanda peringatan bagi keberlanjutan sistem jaminan sosial kesehatan nasional.

Defisit muncul akibat kenaikan beban jaminan kesehatan yang signifikan, mencapai Rp174,9 triliun pada 2024, atau naik 10,13% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp158,85 triliun. Di sisi lain, beban operasional juga mengalami peningkatan dari Rp4,32 triliun menjadi Rp5,77 triliun, dengan pertumbuhan sebesar 33,56%.

Di sisi lain, pendapatan dari iuran hanya naik dari Rp151,69 triliun ke Rp165,34 triliun. Pendapatan dari investasi justru mengalami penurunan, dari Rp5,7 triliun menjadi Rp5,3 triliun, begitu juga dengan pendapatan lainnya termasuk saldo kapitasi (Silpa) yang juga turun. Hal ini menyebabkan total Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan hanya terkumpul sebesar Rp171 triliun, lebih rendah dibandingkan total beban yang mencapai Rp178,85 triliun. Akibatnya, aset DJS pun berkurang dari Rp94,27 triliun menjadi Rp82,4 triliun, terutama disebabkan oleh menurunnya pos kas dari Rp52,27 triliun menjadi Rp32,42 triliun.

Timboel berpendapat bahwa penghapusan sekitar 7,5 juta peserta JKN yang termasuk dalam kategori penerima bantuan iuran akan memberikan tekanan tambahan pada kinerja keuangan BPJS Kesehatan pada tahun 2025. Di sisi lain, sebanyak 50% atau sekitar 15 juta peserta mandiri masih memiliki tunggakan iuran, menunjukkan perlunya evaluasi terhadap skema pembayaran iuran dan kemampuan peserta untuk membayar (ability to pay).

“Peserta mandiri perlu dinilai kemampuannya dalam membayar iuran. Sekitar 50% di antaranya menunggak karena kenaikan iuran yang cukup besar dalam dua kali penerbitan Perpres. Jika tidak segera ditangani, potensi defisit bisa semakin bertambah,” katanya.

Untuk mengatasi defisit dan menjaga keberlanjutan program JKN, Timboel menyarankan pemerintah agar menerima iuran dari DJSN yang telah mengusulkan kenaikan iuran bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI). Perlu diketahui, biaya iuran PBI selama ini ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah sebesar Rp42.000 per orang per bulan. Sementara itu, peserta kelas III yang setara dengan PBI membayar iuran sebesar Rp35.000, dengan subsidi dari pemerintah sebesar Rp7.000.

“Untuk menyelamatkan JKN, jangan sekadar mengeluh soal kenaikan iuran PBI, sebab untuk peserta mandiri kenaikan tersebut masih bisa diperdebatkan,” tegasnya.

Ia juga menekankan hilangnya kontribusi dari pajak rokok yang sebelumnya tercatat dalam laporan keuangan BPJS Kesehatan tetapi kini tidak lagi muncul. Padahal, menurut ketentuan yang berlaku, pajak rokok memiliki potensi pendapatan hingga Rp6 triliun untuk mendukung penyelenggaraan jaminan kesehatan.

“Pajak rokok dikenakan karena adanya cukai. Jangan dicoba untuk diakali, sebab itu merupakan ketentuan yang diatur dalam undang-undang,” katanya menambahkan.

Selanjutnya, Timboel mengatakan bahwa pendapatan dari segmen pekerja penerima upah (PPU) yang dikelola oleh BPSJ Kesehatan masih berpotensi meningkat akibat penyesuaian upah tahunan. Ia juga menilai bahwa Perpres yang memisahkan peserta PBI dan kelas III dalam besaran iuran adalah kebijakan yang sah, namun permasalahan tunggakan iuran kelas III yang cukup besar juga perlu segera diatasi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top