BPJS Kesehatan Defisit Rp7,14 Triliun, Kenaikan Iuran Jadi Solusi Selamatkan JKN

SBNEws,JAKARTA — Timboel Siregar, Koordinator BPJS Watch, mengatakan bahwa defisit yang dialami BPJS Kesehatan menjadi tanda peringatan bagi kelangsungan sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Menurutnya, kondisi defisit mulai terlihat pada tahun 2023 ketika nilai klaim sudah melebihi 100% dari total iuran, meskipun pada saat itu masih terdapat surplus. Pada tahun 2025 ini, diperkirakan defisit akan semakin membesar karena rasio klaim diprediksi mencapai 111%.

“Kondisi ini sudah melebihi ambang batas 100%. Jika dibiarkan terus, aset bersih akan terkuras habis,” ujar Timboel kepada Bisnis, Jumat (4/7/2025).

Sebagai informasi, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat defisit sebesar Rp7,14 triliun sepanjang 2024, setelah sebelumnya selama lima tahun berturut-turut mengalami surplus. Situasi ini memberikan tanda peringatan terhadap keberlanjutan sistem jaminan sosial kesehatan nasional.

Defisit muncul akibat kenaikan beban jaminan kesehatan yang signifikan, mencapai Rp174,9 triliun pada 2024, atau naik 10,13% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp158,85 triliun. Di sisi lain, beban operasional juga mengalami peningkatan dari Rp4,32 triliun menjadi Rp5,77 triliun, dengan pertumbuhan sebesar 33,56%.

Di sisi lain, pendapatan dari iuran hanya naik dari Rp151,69 triliun menjadi Rp165,34 triliun. Pendapatan dari investasi justru mengalami penurunan, dari Rp5,7 triliun menjadi Rp5,3 triliun, begitu juga dengan pendapatan lainnya termasuk saldo kapitasi (Silpa) yang ikut menurun. Dampaknya, total Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang terhimpun hanya sebesar Rp171 triliun, lebih rendah dibandingkan total beban yang mencapai Rp178,85 triliun. Situasi ini menyebabkan aset DJS berkurang dari Rp94,27 triliun menjadi Rp82,4 triliun, terutama disebabkan oleh turunnya pos kas dari Rp52,27 triliun menjadi Rp32,42 triliun.

Timboel berpendapat bahwa penghapusan sekitar 7,5 juta peserta JKN yang termasuk dalam kategori penerima bantuan iuran akan memberikan tekanan tambahan pada kinerja keuangan BPJS Kesehatan pada tahun 2025. Situasi ini semakin diperburuk dengan adanya tunggakan iuran dari sekitar 50% atau kurang lebih 15 juta peserta mandiri, menunjukkan perlunya evaluasi terhadap skema iuran dan kemampuan membayar peserta.ability to pay).

“Peserta mandiri perlu dinilai kemampuan membayarnya. Sekitar 50% di antaranya menunggak lantaran iuran mereka naik cukup tinggi dalam dua kali penerbitan perpres. Jika tidak segera ditangani, potensi defisit tambahan bisa semakin besar,” katanya.

Untuk mengatasi defisit dan menjaga keberlanjutan program JKN, Timboel menyarankan pemerintah agar menerima kenaikan iuran dari DJSN bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI). Perlu diketahui, biaya iuran PBI sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah sebesar Rp42.000 per orang. Sementara itu, peserta kelas III yang setara dengan PBI membayar iuran sebesar Rp35.000, dengan subsidi dari pemerintah sebesar Rp7.000.

“Untuk menyelamatkan JKN, jangan sekadar mengeluh soal kenaikan iuran PBI, sebab untuk peserta mandiri kenaikan tersebut masih bisa diperdebatkan,” tegasnya.

Ia juga menekankan menghilangnya kontribusi dari pajak rokok yang sebelumnya tercatat dalam laporan keuangan BPJS Kesehatan, tetapi kini tidak lagi muncul. Padahal menurut ketentuan yang berlaku, pajak rokok memiliki potensi pendapatan hingga Rp6 triliun untuk mendukung penyelenggaraan jaminan kesehatan.

“Pajak pada rokok dikenakan karena adanya cukai. Jangan dicoba untuk mengakalinya, sebab itu sudah merupakan ketentuan undang-undang,” katanya menambahkan.

Selanjutnya, Timboel mengatakan bahwa pendapatan dari segmen pekerja penerima upah (PPU) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan masih berpotensi meningkat akibat penyesuaian upah tahunan. Ia juga menilai bahwa Perpres yang membedakan peserta PBI dan kelas III dalam besaran iuran adalah legal, namun permasalahan tunggakan iuran kelas III yang cukup besar juga perlu segera diatasi.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menyatakan bahwa terjadi penurunan aset neto dan semakin besarnya beban belanja yang harus ditanggung.

“Tahun ini, pengeluaran RKAT melebihi Rp200 triliun,” kata Ghufron kepadaBisnisMeskipun demikian, ia menegaskan bahwa kondisi aset neto saat ini masih tergolong sehat, tetapi memerlukan intervensi kebijakan guna mengurangi defisit.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top