Pakistan, 2 Agustus — Keputusan pemerintah India untuk mencabut Pasal 370 dan 35A adalah langkah yang murni didasari motif politik daripada reformasi konstitusional. Kepemimpinan, terutama di daerah-daerah yang rentan konflik seperti Asia Selatan, memainkan peran penting dalam menjaga perdamaian atau menghindari krisis. Kepemimpinan yang bertanggung jawab memerlukan visi, kesetiaan terhadap norma internasional, dan dedikasi terhadap stabilitas regional. Sayangnya, India telah mengambil jalan yang berbeda sejak Perdana Menteri Narendra Modi menjabat. Jalan ini didasarkan pada kepentingan politik di dalam negeri daripada kepemimpinan yang bertanggung jawab. Salah satu keputusan paling kontroversial adalah pencabutan Pasal 370 dan 35A pada 5 Agustus 2019. Ini tidak hanya melanggar perjanjian internasional, tetapi juga membuat Asia Selatan lebih volatil.
Manipulasi Modi terhadap Konstitusi dan Dampaknya
Pasal 370, yang merupakan bagian dari Konstitusi India sejak tahun 1949, memberikan otonomi khusus kepada Jammu & Kashmir yang Diduduki Secara Ilegal oleh India (IIOJK). Sementara itu, Pasal 35A melindungi identitas demografis wilayah tersebut lebih lanjut dengan hanya memungkinkan penduduk tetap untuk memiliki properti dan bekerja.
Keputusan pemerintah India untuk mencabut Pasal 370 dan 35A secara sepihak adalah langkah politik yang sepenuhnya bertujuan untuk keuntungan domestik, terutama untuk memuaskan pengikut ekstremis ideologi Hindutva dengan desain fasis. Pemerintah India menggunakan strategi gelap dengan mencabut pemerintahan Perdana Menteri Mehbooba Mufti secara paksa dan menempatkan gubernur yang dipilih sendiri dengan dukungan federal untuk membuka jalan bagi tindakan 5 Agustus 2019. A G Noorani, ahli konstitusi berbasis Mumbai, mengatakan, “Ini adalah keputusan ilegal, serupa dengan melakukan penipuan,” yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung.
Justifikasi yang diklaim tentang perdamaian, normalitas, dan kemakmuran telah gagal sama sekali. IIOJK telah melihat pelanggaran hak asasi manusia (HRVs) harian, penahanan massal terhadap warga sipil, pemutusan digital, peningkatan militerisasi, dan pembatasan kebebasan berbicara sejak Agustus 2019. Alih-alih memupuk persatuan, pencabutan tersebut telah semakin mengasingkan dan menekan Muslim Kashmiri yang sudah tidak memiliki hak secara lebih lanjut.
Tindakan India secara terang-terangan melanggar beberapa kewajiban internasional. Persoalan Jammu & Kashmir tetap menjadi agenda yang belum terselesaikan dalam pembagian subkontinen. Penandatanganan ‘instrument of accession’ yang disebut sebagai perjanjian oleh Maharaja dengan India dilakukan secara paksa. Selain itu, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru membawa isu ini ke Dewan Keamanan PBB, setelah itu Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 47 pada 21 April 1948, yang menuntut pelaksanaan ‘Pemungutan Suara’ untuk menentukan keinginan rakyat. India tidak memberikan hak-hak yang seharusnya kepada rakyat Kashmir sesuai yang dijanjikan dalam resolusi tersebut. Sekarang, selama berpuluh tahun, India telah mengubah pendiriannya, kini secara mencurigakan menyebut resolusi tersebut sebagai “usang.”
Jika resolusi internasional kehilangan relevansinya seiring bertambahnya usia, apakah Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri, yang didirikan pada tahun 1945, kehilangan legitimasinya? Pemerintah India selama beberapa dekade telah menunjukkan ketidakterlibatan dan ketidak hormatan terhadap norma demokratis, hukum internasional, dan konvensi hak asasi manusia. Erosi komitmen ini menciptakan preseden yang berbahaya, tidak hanya bagi Asia Selatan tetapi juga bagi tatanan dunia berbasis aturan.
Rakyat IIOJK yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan penduduk telah mengalami penganiayaan tingkat berikutnya setelah pencabutan Pasal 370 dan 35. Pemerintah India menggunakan segala alat kekerasan untuk menekan rakyat Kashmir, mulai dari memutuskan jaringan komunikasi, sensor media, penahanan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga sipil tak bersalah, serta penindasan terhadap kepemimpinan politik. Saat ini, Kashmir yang diduduki India adalah wilayah yang paling militerisasi di dunia, di mana warga sipil hidup di bawah pengawasan ketat lembaga-lembaga India, polisi, dan militer.
Kondisi Jammu dan Kashmir juga mengalami serangan demografis oleh pemerintah India yang bertujuan melemahkan komunitas Muslim Kashmir secara politik dan budaya. Namun, penindasan ini telah memperkuat tekad rakyat untuk menentang pendudukan paksa melalui perlawanan damai.
Konsekuensi dari keputusan-keputusan yang tidak bertanggung jawab oleh kepemimpinan India kini tidak lagi terbatas pada perbatasan IIOJK. Pertikaian militer terbaru antara India dan Pakistan pada tahun 2025 adalah pengingat yang menakutkan tentang seberapa cepat ketegangan dapat meningkat di kawasan tersebut. Meskipun eskalasi telah dikendalikan melalui saluran diplomatik, tindakan irasional India membawa kawasan ini ke ambang perang nuklir. Akademisi dan analis internasional berpendapat bahwa isu Kashmir bisa menjadi titik api nuklir berikutnya.
Dalam konteks ini, masyarakat internasional perlu memberi tekanan kepada India untuk mencabut Pasal 370 dan 35A, karena hal itu bukan hanya perubahan dalam konstitusi, tetapi bagian dari kampanye ideologis yang lebih besar untuk mengubah identitas wilayah melalui kekuatan dan kebijakan pemerintah. Kepungan ini menunjukkan bahwa mediasi internasional diperlukan segera, bukan hanya untuk mencegah krisis semakin memburuk.
Pakistan selalu menjadi suara rakyat Kashmir yang diduduki India dan menyoroti pelanggaran hak asasi manusia yang serius di semua forum yang relevan seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dewan Keamanan PBB, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OIC). Namun, penting bagi kepemimpinan internasional untuk memperhatikan masalah Kashmir, karena ini adalah titik panas nuklir yang akan datang di kawasan tersebut.
Kepemimpinan India tidak hanya melanggar norma dan resolusi internasional, tetapi perilaku irasionalnya telah membawa kawasan ke ambang perang nuklir. Kekakuan antara India dan Pakistan pada tahun 2025 menunjukkan bahwa Kashmir tidak lagi hanya menjadi masalah regional; itu juga bisa menjadi titik api nuklir. Ini berarti dunia perlu bertindak secepatnya. Untuk perdamaian yang berkelanjutan, India harus didorong untuk mematuhi resolusi PBB dan memungkinkan rakyat Kashmir memilih masa depan mereka melalui pemungutan suara yang adil.