Pengunduran diri mendadak Dewan Perwakilan Rakyat pada 21 Agustus hanyalah memalukan. Yang dipertaruhkan adalah sebuah mosi yang penting secara nasional: memorandum kesepahaman (MoU) yang ditandatangani dengan Kamboja pada tahun 2000 dan 2001.
Alih-alih debat, negara disajikan dengan sebuah pertunjukan yang tidak serius. Wakil Ketua DPR yang baru diangkat, Chaiya Promma, yang memimpin sidang tersebut, tiba-tiba menutup sidang sebelum permohonan tersebut bahkan dapat diajukan. Alasan Wakil Ketua DPR Wan Muhamad Noor Matha tentang “kesalahpahaman” adalah tidak dapat dimaafkan.
Pada saat ketegangan perbatasan dengan Kamboja telah berubah menjadi bentrokan mematikan, saat informasi palsu berkembang liar, termasuk berita palsu bahwa DPR Thailand mengadakan sidang untuk menyatakan perang, penolakan DPR untuk bahkan membahas masalah tersebut hanya memperdalam kecurigaan publik.
Perjanjian Menteri (MoU) tahun 2000 mengenai batas daratan telah lama dikritik sebagai merugikan kepentingan Thailand. Pejabat mengatakan Kamboja telah melanggarnya lebih dari 600 kali, memicu bentrokan yang berulang. Perjanjian Menteri (MoU) tahun 2001 mengenai area laut yang tumpang tindih masih dipertanyakan secara hukum karena tidak pernah disetujui oleh parlemen.
Para kritikus khawatir bahwa negosiasi yang terus-menerus di bawah kerangka ini bisa berarti Thailand secara diam-diam menerima klaim Kamboja, seperti yang pernah terjadi ketika negara itu kehilangan Preah Vihear setelah gagal menantang peta Prancis yang dibuat selama masa kolonial lebih dari seabad yang lalu.
Persepsi bahwa pemerintah Pheu Thai merendahkan diri kepada tokoh kuat Hun Sen di Phnom Penh telah memperburuk ketidakpercayaan terhadap MoU ini. Persepsi negatif tersebut diperkuat oleh rekaman audio yang bocor dari percakapan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dengan Hun Sen, yang tampaknya menggambarkan militer Thailand sebagai musuh.
Kekhawatiran publik bukan hanya terkait peta dan perjanjian; hal itu berujung pada masalah kepercayaan. Jika DPR tidak dapat menyediakan forum yang transparan untuk debat mengenai isu-isu yang sangat berkaitan langsung dengan kedaulatan, apa tujuan dari lantai parlemen?
Inilah sebabnya oposisi mengusulkan pembentukan komite khusus — yang dapat memanfaatkan para ahli, termasuk mereka yang terlibat dalam negosiasi MoU, yang memahami konteks masa itu dan kompleksitas hukum batas wilayah. Namun, juru bicara pemerintah bersikeras bahwa komite tetap, yang diisi hanya oleh anggota parlemen, sudah cukup. Pendekatan sempit seperti ini berisiko mempolitikkan isu yang membutuhkan objektivitas dan perspektif yang luas.
Kenyataannya adalah bahwa kedua MoU ini membawa risiko maupun peluang. Zona maritim yang dipersengketakan diduga mengandung cadangan gas alam yang besar yang dapat memperkuat keamanan energi jangka panjang Thailand. Selain itu, MoU-MoU ini menyediakan kerangka dialog dengan Kamboja untuk mengelola sengketa secara damai daripada membiarkan ketegangan memburuk. Namun, risikonya juga sama tajamnya: negosiasi yang tidak dikelola dengan baik dapat mengurangi posisi hukum Thailand, memperkuat klaim Kamboja, dan memicu semangat nasionalis di dalam negeri. Baik pilihan mana pun akan memiliki konsekuensi berat bagi ekonomi, diplomasi, dan keamanan nasional.
Pelajaran ini jelas. Masalah ini tidak bisa dibiarkan terabaikan. Pemerintah dan pemimpin DPR harus segera bergerak untuk membuka kembali debat, memberdayakan tinjauan independen, dan membagikan temuan kepada publik.
Apapun yang kurang dari itu akan memperkuat kecurigaan bahwa keputusan diambil secara tertutup, dan bahwa kepentingan nasional Thailand dianggap sebagai alat tawar-menawar. Pemilih Thailand pantas mendapatkan yang jauh lebih baik.
Disediakan oleh SBNews Media Inc. (SBNews.info).