Nepal, 1 Juli — Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi seputar kesehatan mental semakin meningkat, terutama setelah gempa bumi tahun 2015 dan wabah Covid-19. Orang-orang mulai membicarakan kesejahteraan emosional, trauma, stres, dan kecemasan. Perubahan ini sangat penting dan diperlukan bagi masyarakat seperti Nepal, di mana topik-topik tersebut masih dianggap tabu.
Namun, kesadaran yang berkembang ini sebagian besar terpusat di ibu kota, Kathmandu. Orang-orang di perkotaan memiliki akses yang relatif lebih baik terhadap pusat-pusat konseling, lokakarya kesadaran, kampanye media sosial, dan jaringan dukungan, selama fasilitas-fasilitas tersebut tersedia dan dapat dijangkau. Namun, dari pengalaman saya di lapangan, saya menyadari bahwa di luar lembah tersebut, kesehatan mental sering kali tetap menjadi pergulatan yang sunyi, asing, dan tak terlihat. Ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah kita benar-benar ingin menciptakan dampak di mana hal tersebut paling dibutuhkan, atau kita akan terus mengabaikan kesejahteraan mental di masyarakat yang berada di luar jangkauan ibu kota?
Kebutuhan akan kesadaran tentang kesehatan mental di masyarakat yang jauh dari ibu kota bahkan lebih mendesak, karena orang-orang di sana menghadapi tantangan kesehatan mental yang sama beratnya, jika tidak lebih serius. Faktor-faktor seperti kemiskinan, terbatasnya peluang, diskriminasi gender, migrasi anggota keluarga, serta trauma berkepanjangan akibat bencana alam dapat meninggalkan luka emosional yang dalam. Namun demikian, banyak individu di daerah-daerah ini sering kali tetap tidak menyadari apa yang mereka alami, atau bahwa dukungan profesional adalah sesuatu yang bisa mereka akses dan layak mereka dapatkan.
Tanpa kesadaran, banyak orang melihat tantangan ini hanya sebagai bab lain dari kesusahan mereka yang harus “diterima” dan “dihadapi dengan kuat”. Banyak individu tidak memiliki kata-kata untuk menggambarkan apa yang mereka rasakan. Mereka mungkin tidak tahu arti “kecemasan” atau “depresi”, tetapi mereka bisa menjelaskan dengan baik malam-malam tanpa tidur, hilangnya nafsu makan, sakit tubuh akibat kekhawatiran terus-menerus, atau hati yang terasa begitu berat hingga tak terbendung. Ini bukan sekadar emosi sesaat. Ini adalah tanda-tanda nyata gangguan emosional yang layak mendapatkan perhatian dan kasih sayang.
Sebagai tenaga kesehatan mental, ketika kami dapat bekerja dengan masyarakat di luar Kathmandu, kami secara langsung menyaksikan betapa dalamnya kurangnya kesadaran yang ada. Namun bukan salah masyarakat itu sendiri. Permasalahannya terletak pada distribusi dukungan kesehatan mental yang terlalu sempit, hanya terpusat di beberapa daerah perkotaan saja dan tidak merata hingga ke seluruh penjuru negeri.
Bahkan di komunitas-komunitas tempat kesadaran mulai tumbuh, orang-orang yang memahami kesehatan mental sering kali menyimpan pemahaman tersebut sendiri karena penilaian keras dan stigma yang masih mengiringi pembicaraan tentang topik ini. Sudah saatnya kita mengubah perspektif kita. Tantangan kesehatan mental tidak boleh hanya dilihat dari kacamata penyakit mental yang serius saja. Masalah ini juga bisa menjadi bagian alami dari pasang surut kehidupan. Karena perbedaan individu, sebagian orang mungkin mampu menghadapinya dengan baik, sementara yang lain mungkin berjuang dalam diam tanpa dukungan, dan diamnya mereka bisa menjadi berbahaya sebelum ada yang menyadarinya.
Inilah mengapa kesadaran akan kesehatan mental di seluruh Nepal sangat penting. Setiap distrik, kota, dan desa harus memiliki ruang aman di mana orang-orang dapat membicarakan perasaan mereka tanpa rasa takut atau penilaian. Mengedukasi masyarakat bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik harus menjadi prioritas utama.
Inisiatif kesadaran di masyarakat tidak boleh dianggap sebagai solusi instan. Kampanye sekali jalan mengenai topik-topik yang sangat disalahpahami dan dikaitkan dengan stigma sering kali menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, membuat orang bingung atau bahkan semakin enggan untuk bersuara. Yang diperlukan adalah konsistensi, kesabaran, dan keterlibatan jangka panjang. Memahami konsep-konsep ini membutuhkan waktu, mengingat banyak orang telah menjalani seluruh hidup mereka tanpa pernah mendengar bahasa tentang kesejahteraan mental.
Bayangkan seperti mengajarkan alfabet kepada seorang anak untuk pertama kalinya. Kita tidak mengharapkan kemahiran dalam semalam. Kita membimbing mereka, dengan sabar dan konsisten, dari huruf ke kata, lalu ke kalimat. Demikian pula, membangun literasi kesehatan mental membutuhkan usaha yang terus-menerus, empati, dan kepercayaan dari waktu ke waktu. Ini adalah jalan yang menantang, tetapi satu jalan yang bisa kita lalui bersama.
Berita baiknya adalah Nepal memiliki komunitas yang kuat dan saling terhubung erat. Orang-orang mempercayai tetangga, guru, petugas kesehatan, serta pemimpin lokal mereka. Dengan melatih dan memberdayakan individu-individu terpercaya ini untuk mengenali tanda-tanda gangguan mental serta memberikan dukungan dasar atau rujukan, kita dapat menjangkau mereka yang mungkin tidak pernah mencari konseling formal.
Sekolah dapat menjadi ruang di mana siswa tidak hanya belajar matematika dan sains, tetapi juga cara mengungkapkan perasaan dan menghadapi tekanan. Kelompok Aama Samuha (kelompok ibu-ibu) dapat dilatih untuk saling memberikan dukungan secara emosional. Pos kesehatan setempat dapat menyertakan skrining dasar kesehatan mental dan konseling. Program radio dalam bahasa daerah dapat menyebarkan pesan-pesan harapan dan penyembuhan. Langkah-langkah kecil berbasis masyarakat ini dapat membuat perbedaan besar.
Yang menjadi inti dari semuanya adalah empati, yaitu kepedulian yang tulus terhadap perasaan orang lain. Kesehatan mental tidak boleh menjadi topik yang hanya kita akui keberadaannya pada Hari Kesehatan Mental Dunia atau sebagai respons terhadap peristiwa-peristiwa tragis. Kesehatan mental harus menjadi bagian rutin dari kehidupan sehari-hari kita, percakapan kita, komunitas kita, serta sistem-sistem yang ada.
Kesehatan mental bukanlah masalah kota; ini adalah masalah manusia. Dan jika kita ingin pulih sebagai sebuah bangsa, kita harus melampaui batas-batas Kathmandu dan menjangkau masyarakat di setiap sudut Nepal. Perubahan dimulai dengan percakapan sederhana, telinga yang mau mendengar, serta pemahaman bersama bahwa terkadang tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja dan lebih baik lagi untuk meminta bantuan.
Terakhir, kesehatan mental tidak memiliki alamat tetap. Ia ada di mana pun orang tinggal. Demikian pula kesadaran, pemahaman, dan bantuan harus ada di sana juga.