Kathmandu, 1 Agustus — Jika mesin bisa mengerjakan tugas rumah Anda, apa yang tersisa untuk otak Anda lakukan? Kecerdasan Buatan kini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari siswa. Dari menyelesaikan masalah matematika hingga menulis esai, alat kecerdasan buatan seperti ChatGPT sedang merevolusi cara siswa belajar, belajar, dan menyelesaikan tugas. Tapi dengan kemudahan datang konsekuensinya.
Menurut laporan Microsoft tentang Kecerdasan Buatan di Pendidikan tahun 2025, 93 persen siswa di seluruh Amerika Serikat telah menggunakan kecerdasan buatan sekali atau dua kali untuk tujuan terkait sekolah. Seiring dengan semakin melekatnya kecerdasan buatan dalam pendidikan, muncul pertanyaan penting: Apakah itu membuat siswa malas?
Sushil Paudel, kepala fakultas Bahasa Inggris di St Xavier’s College, telah mengamati perubahan yang mengkhawatirkan dalam kebiasaan siswa. Menurutnya, AI membuat siswa malas dengan mendorong jalan pintas. Ia mengatakan, “Banyak siswa mengandalkan ringkasan atau jawaban yang dihasilkan AI alih-alih membaca teks penuh. Hal ini menghasilkan interpretasi yang dangkal dan tidak akurat yang tidak didukung oleh bukti teks. Sastra membutuhkan keterlibatan yang mendalam, tetapi AI sering menggantikan perjalanan yang diperlukan melalui karakter dan latar.”
Masalah, seperti yang dilihat oleh Paudel, bukanlah kehadiran AI tetapi cara siswa menggunakannya. Alih-alih menjadi alat untuk memperdalam pemahaman, AI telah menjadi penopang untuk menghindari pekerjaan berat yang diminta oleh pelajaran akademik. “Siswa kehilangan kepercayaan diri dalam menulis, merasa tulisan mereka tidak bisa menyamai bahasa yang mulus dari AI, sehingga mereka berhenti menulis secara mandiri,” tambahnya.
Kekhawatiran bahwa AI bisa mengikis kemampuan berpikir kritis semakin meningkat. Siswa bergantung pada konten yang dihasilkan mesin, melewatkan proses penting seperti analisis, interpretasi, dan penyampaian. Keterampilan ini bukan hanya akademis; mereka adalah keterampilan kehidupan.
Misalnya, dalam pelajaran ilmu-ilmu humaniora seperti sejarah dan sastra, siswa didorong untuk membentuk pendapat, mengkritik argumen, dan menarik koneksi. Ketika AI memberikan jawaban langsung kepada mereka, siswa mungkin tidak lagi merasa perlu berpikir secara mendalam. Secara bertahap, ini dapat menciptakan generasi yang secara fakta terinformasikan tetapi secara intelektual pasif. Ketika seorang siswa membiarkan mesin berbicara atas nama mereka, hal ini melemahkan kemampuan mereka untuk berpikir, berargumen, dan mencipta. Ini seperti melakukan kecurangan terhadap pikiran sendiri.
Rakhi Bind, seorang mahasiswa Ilmu Jurnalisme dan Sastra Inggris, menyampaikan kekhawatiran ini dari perspektif seorang siswa. “Tren ini secara perlahan mengurangi kreativitas siswa.”
Menurut Bind, sastra adalah bidang yang berakar pada emosi dan imajinasi. Konten yang dihasilkan mesin mengungguli aspek-aspek ini. Meskipun dia mengakui bahwa AI dapat membantu meningkatkan keterampilan bahasa atau menawarkan bantuan menulis, dia menarik garis batas terhadap ketergantungan berlebihan.
Ketika siswa terlalu bergantung pada AI, hal ini menghambat kreativitas mereka dan melemahkan hubungan mereka dengan sastra,” katanya memperingatkan. “Kreativitas sejati seharusnya berasal dari siswa, bukan hanya dari mesin.
Penggunaan Kecerdasan Buatan tidak hanya terbatas pada sekolah dan perguruan tinggi. Bahkan penelitian ilmiah kini sangat dipengaruhi oleh alat AI seperti ChatGPT. AI digunakan untuk menulis artikel penelitian, menyimpulkan studi, dan menganalisis data. Akibatnya, hal ini juga telah menciptakan masalah baru dan memicu debat serius.
Satu contoh adalah sebuah artikel tahun 2023 yang diterbitkan dalam jurnal Oncoscience. ChatGPT menulis sebagian besar artikel tersebut, berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti Alex Zhavoronkov. Meskipun artikel tersebut jelas dan terorganisir dengan baik, artikel tersebut memunculkan pertanyaan penting. Apakah mesin layak diberi kredit atas penulisan sebuah artikel ilmiah? Apakah AI dapat disebut sebagai coauthor, seperti peneliti manusia?
Banyak ahli di komunitas ilmiah berpikir ini berbahaya. Mereka percaya bahwa memberikan status yang sama kepada AI seperti peneliti manusia menghina orang-orang yang menghabiskan tahun-tahun untuk belajar, melakukan eksperimen, dan membangun pengetahuan. Menurut artikel tersebut, memungkinkan AI dicantumkan sebagai coauthor bertentangan dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan pekerjaan akademik. “Menganggap martabat peneliti sama dengan mesin adalah tidak dapat diterima,” jelas artikel tersebut.
Situasi ini menunjukkan bahwa penggunaan AI yang malas bukan hanya menjadi masalah bagi siswa yang tidak ingin mengerjakan tugas. Hal ini juga memengaruhi peneliti, ilmuwan, dan profesional. Ketika orang terlalu bergantung pada AI, menjadi sulit untuk mengetahui siapa yang benar-benar melakukan pekerjaan, apakah seseorang atau sebuah program. Kekaburan ini dapat merusak kepercayaan di bidang akademik dan ilmiah, di mana integritas, usaha, dan originalitas seharusnya menjadi hal yang paling penting.
Pada 1870-an, Harvard memperkenalkan kursus penulisan ekspositoris wajib karena kualitas tulisan siswa yang buruk, yang menandai pergeseran dari retorika klasik ke penulisan berbasis argumen dalam bahasa Inggris. Sejak saat itu, esai menjadi cara standar untuk menilai pembelajaran siswa, tetapi dengan munculnya AI generatif, beberapa orang sekarang mulai meragukan relevansinya.
Kalpana Dahal, seorang ibu dari seorang siswa kelas 10, memberikan perspektif dari sisi rumah. “Sebelum AI mengambil alih, putra saya sering kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Sekarang, dia memanfaatkan AI untuk pertanyaan yang sulit dan menyalin jawabannya,” katanya. Meskipun dia mengakui bahwa ini membuat pekerjaan akademiknya lebih mudah, dia khawatir tentang dampak jangka panjang. “Meskipun AI membuatnya lebih mudah, saya takut dia akan menjadi ketergantungan pada AI. Saya tidak ingin dia tidak menggunakan otaknya.”
Kekhawatiran dia mencerminkan kekhawatiran banyak orang tua: sementara mereka menghargai bahwa anak-anak mereka memiliki dukungan akademik, mereka juga khawatir tentang pengurangan kemampuan berpikir kritis dan usaha.
Namun, tidak semua orang melihat AI sebagai masalah. Bagi beberapa siswa, itu adalah motivasi daripada penghalang. Anupam Parajuli, seorang siswa A-level, mengatakan, “AI adalah hal terbaik yang pernah terjadi pada saya. Saat mempersiapkan ujian A level, terutama mata pelajaran yang kritis dan membutuhkan bahasa seperti bisnis dan ekonomi, saya bisa memahami konsep dengan lebih baik hanya karena saya bisa berinteraksi bolak-balik dengan ChatGPT.”
Alih-alih membuatnya malas, Parajuli mengklaim bahwa AI meningkatkan produktivitasnya. “Belajar menjadi jauh lebih mudah. Saya bisa menghabiskan lebih banyak jam daripada terjebak dan menyerah.” Baginya, alat AI membantu mengatur catatan, menyusun rencana ulangan secara sistematis, dan bahkan memicu kreativitas. “Saya belajar isi materi dengan cara yang lebih kreatif, yang biasanya di luar cakupan apa yang saya pelajari hanya dari buku-buku,” tambahnya.
Ini menunjukkan bahwa dampak AI tergantung pada cara siswa menggunakannya. Meskipun beberapa menggunakan AI sebagai alat untuk keterlibatan, yang lain menggunakan AI untuk menghindari usaha.
Namun, ada cara halus lain di mana AI berkontribusi pada kebiasaan malas akademik, yaitu melalui kesempurnaan. Seperti yang dikemukakan oleh Paudel, banyak siswa membandingkan pikiran mentah mereka dengan hasil yang telah dipoles oleh AI. Hal ini menyebabkan krisis kepercayaan diri, terutama bagi siswa yang sudah kesulitan dalam menulis.
Daripada menerima suara mereka yang cacat tetapi orisinal, siswa sering memilih untuk mengirimkan karya yang ditulis oleh AI. Ini membuat mereka menjadi konsumen pasif daripada pencipta aktif. Seiring berjalannya waktu, mereka menulis lebih sedikit, mengedit lebih sedikit, dan berpikir lebih sedikit.
Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah penurunan kebiasaan membaca. ChatGPT menawarkan ringkasan dan analisis karakter secara instan. Akibatnya, siswa semakin tidak mungkin membaca teks utuh. Tren ini terutama merusak dalam kelas sastra, di mana kedalaman interpretasi bergantung pada kekayaan bahasa, gaya, dan narasi. Siswa tidak lagi menghabiskan waktu untuk metafora, sarkasme, atau suara. Mereka meminta ChatGPT untuk menjelaskan makna dan melewatkan sensasi penemuan.
Pemeriksa plagiarisme pun kesulitan menangkap karya yang ditulis oleh AI.
Perubahan ini telah membuat banyak tugas menjadi tidak berarti. Mengapa seorang siswa menghabiskan jam-jam mencari informasi ketika sebuah chatbot bisa melakukannya dalam menit? Nilai akademis dari pemikiran asli sedang digantikan oleh efisiensi dan kecepatan.
Sekolah dan universitas perlu bergerak melebihi pertanyaan yang hanya menghafal. Tugas harus menuntut refleksi pribadi, pemikiran kritis, dan koneksi dengan kehidupan nyata. Ujian lisan, proyek kreatif, dan penilaian berbasis proses bisa membantu. Siswa harus diajarkan bagaimana menggunakan AI sebagai mitra, bukan pengganti. Mengetahui kapan dan bagaimana menggunakan AI secara bertanggung jawab sebanding pentingnya dengan mengetahui kapan harus menghindarinya.
Para siswa harus diingatkan bahwa pengetahuan bukan hanya tentang mendapatkan jawaban; itu adalah tentang proses bertanya, berjuang, dan menemukannya sendiri. Tidak ada mesin, secerdas apa pun, yang dapat menggantikan keinginan manusia untuk tahu, menciptakan, dan mengekspresikan.