Mencari kekuatan dalam ketenangan

Kathmandu, 19 Juli — “Sebelum Kenanganmu Menghilang” karya Toshikazu Kawaguchi adalah novel ketiga dalam seri yang diakui dunia “Sebelum Kopi Dingin”, yang awalnya ditulis untuk panggung dan kemudian diadaptasi menjadi prosa. Dengan setiap bagian, Kawaguchi secara diam-diam tetapi kuat mengeksplorasi kebutuhan manusia akan penyelesaian, pengampunan, dan koneksi emosional – bukan dengan menulis ulang sejarah, tetapi dengan mengunjungi kembali masa lalu. Bab baru ini melanjutkan tradisi tersebut dengan semua kelembutannya yang biasa, sambil memperkenalkan beberapa tekstur baru dalam nada dan tema yang membuatnya menonjol dalam seri tersebut.

Di intinya, seri ‘Sebelum Kopi Dingin’ ini terlihat sederhana namun menipu. Di dalam dinding sebuah kafe Jepang, pelanggan diperbolehkan melakukan perjalanan waktu—ke masa lalu, bukan ke masa depan—dengan aturan ketat. Perjalanan hanya bisa dilakukan jika mereka duduk di kursi tertentu, mereka tidak boleh meninggalkan kursi tersebut, dan yang paling penting, mereka harus kembali sebelum kopinya dingin. Perjalanan waktu di sini tidak digunakan untuk petualangan besar atau mengubah peristiwa dunia. Tidak ada yang bisa diubah di masa kini. Sebaliknya, karakter-karakternya mencari sesuatu yang jauh lebih intim: percakapan terakhir, permintaan maaf yang belum disampaikan, perpisahan yang terlalu lama.

Berbeda dengan dua buku pertama yang berlatar di Cafe Funiculi Funicula di Tokyo, “Before Your Memory Fades” mengganti latar ke Cafe Donna Donna yang berada di Hakodate, Jepang bagian utara. Meskipun kafe baru ini tetap mempertahankan tradisi mistis perjalanan waktu melalui kopi, ia membawa sejumlah karakter baru, suasana yang segar, serta perubahan tema yang halus namun bermakna. Kali ini kita kembali diperkenalkan pada empat individu, masing-masing ingin kembali mengunjungi momen penting dari masa lalu mereka. Motivasi mereka berbeda-beda, tetapi semuanya diikat oleh rasa ketidaklengkapan emosional—sebuah rasa sakit, kesunyian, atau sebuah perpisahan yang tidak pernah terucap.

Kafe ini kini dikelola sementara oleh Nagare Tokita, tokoh yang sudah dikenal dari buku-buku sebelumnya, yang datang dari Tokyo sementara ibunya, Yukari, pemilik asli kafe, berada di Amerika. Nagare didampingi oleh Kazu yang selalu tenang, yang kini tidak lagi mampu menuang kopi ajaib karena baru saja melahirkan. Tugas ini kini dilakukan oleh putrinya yang masih kecil, Sachi, seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang diam namun penuh intuisi. Perpindahan generasi ini membawa simbolisme halus dalam novel ini—ide bahwa ritual, cerita, dan warisan emosional diturunkan, meskipun orang-orang datang dan pergi.

Empat cerita utama dalam “Sebelum Kenanganmu Menghilang” sama menyentuhnya dengan keunikan masing-masing. Cerita pertama, “Anak Perempuan”, mengikuti seorang wanita muda yang kehilangan kedua orang tuanya pada usia sangat muda. Rasa sedihnya, bagaimanapun, berubah menjadi rasa benci. Ia kembali ke masa lalu bukan untuk memulihkan cinta, tetapi untuk menghadapi orang tua yang ia anggap meninggalkannya. Apa yang dimulai sebagai kemarahan berubah menjadi kesadaran bahwa duka sering kali bersembunyi di balik amarah. Perjalanannya emosional dan temporal, karena cerita ini menggabungkan kunjungan ke masa lalu dengan masa depan, menciptakan pemahaman yang kompleks tentang bagaimana trauma dapat terus berdampak dari generasi ke generasi.

Cerita kedua, ‘Si Komika’, menceritakan Todoroki, seorang pria yang akhirnya memenangkan penghargaan komedi bergengsi bersama rekan kerjanya setelah bertahun-tahun berjuang. Namun, alih-alih menikmati kejayaannya, ia mengasingkan diri, dihantui oleh ketidakhadiran istrinya yang telah meninggal, satu-satunya orang yang percaya padanya tanpa syarat. Ia kembali ke kafe itu berharap melihatnya sekali lagi. Cerita ini sangat lembut, karena menjelajahi kesendirian yang aneh dalam meraih sesuatu ketika orang yang ingin kamu bagikan keberhasilan itu sudah tidak ada lagi.

“Kakak Perempuan”, cerita ketiga, bisa dibilang paling menyentuh secara emosional. Ceritanya mengikuti seorang wanita yang tidak dapat menerima kematian saudara perempuannya, yang dulu adalah teman dekatnya. Penggambaran kesedihan di sini sangat asli dan sangat manusiawi. Kawaguchi tidak meromantisasi berkabung; malah ia menunjukkan bagaimana kehilangan dapat mengubah persepsi diri kita, sehingga bahkan rutinitas harian yang paling sederhana terasa asing dan kosong. Kembali ke masa lalu tidak menyembuhkan kesedihan Reiko, tetapi memungkinkan dia melepaskan beban yang sering kali dibawa oleh kata-kata yang tidak pernah diucapkan.

Cerita terakhir, ‘Pemuda Muda’, menyelami cinta yang tak pernah diucapkan. Dua sahabat seumur hidup tidak pernah mengakui perasaan mereka satu sama lain sampai terlambat. Bab ini menangkap rasa takut akan kerentanan yang universal dan penyesalan yang datang bersama kesempatan yang hilang. Ini adalah narasi yang tenang namun kuat yang menunjukkan bagaimana percakapan terkecil—jika tidak diucapkan—bisa menjadi penyesalan terberat.

Elemen yang sering muncul sepanjang buku ini adalah kehadiran sebuah buku anak-anak berjudul “Apa Jika Dunia Akan Berakhir Besok? Seratus Pertanyaan”, yang dibaca dan dibaca ulang oleh Sachi kecil. Premis buku ini mengajak pembacanya untuk mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan dalam momen terakhir mereka—apa yang akan mereka katakan, kepada siapa, dan mengapa. Motif ini menghubungkan cerita-cerita tersebut secara tema, mengajak pembaca untuk merenung tidak hanya tentang keputusan karakter-karakternya, tetapi juga tentang keputusan mereka sendiri.

Yang paling membedakan ‘Sebelum Kenanganmu Menghilang’ dari instalasi sebelumnya adalah nada dan bobot emosionalnya. Novel ini lebih berat dalam mengangkat topik-topik seperti kelelahan, depresi, dan pikiran bunuh diri, tanpa pernah terasa eksploratif atau tidak sensitif. Topik-topik ini ditangani dengan hati-hati, bukan sebagai twist cerita, tetapi sebagai realitas yang orang bawa secara diam-diam. Tidak ada upaya untuk memperbaiki perasaan ini dengan solusi mudah. Sebaliknya, Kawaguchi membiarkan tokoh-tokohnya duduk bersama kesedihan mereka, mengakui hal itu, dan pada akhirnya menerimanya. Dengan demikian, buku ini terasa lebih mendalam dan mungkin lebih resonan daripada karya-karya sebelumnya.

Prosa Kawaguchi tetap bersih dan minimalis. Dialognya bisa terasa dramatis, bahkan berulang, dan penggunaan ekspresi seperti “huh” atau “uh-huh” mungkin mengganggu bagi sebagian orang. Namun, gaya ini konsisten sepanjang serialnya dan berkontribusi pada irama yang tenang dan meditatif. Sama seperti kafe itu sendiri, ritme ceritanya lambat dan sengaja. Ia mengajak pembaca untuk berhenti sejenak dan merenung, bukan sekadar melaju menuju akhir.

Beberapa orang mungkin berargumen bahwa pada buku ketiga, premis kafe dan aturan-aturannya mulai terasa membosankan. Memang, kondisi perjalanan waktu dijelaskan dalam setiap bagian, dan motif-motif yang sudah dikenal kembali muncul. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam pengulangan ini—sebuah pengingat bahwa kehidupan itu sendiri penuh dengan pola yang berulang, namun setiap cerita manusia tetap unik. Kawaguchi secara hebat menggunakan setting tetap untuk menjelajahi berbagai macam emosi manusia, membuktikan bahwa bahkan di dalam batasan, cerita bisa berkembang.

Yang penting, buku ini bukan tentang menulis ulang masa lalu. Kafe tidak mengizinkan hal itu. Yang ditawarkan justru sesuatu yang mungkin lebih bermakna—kesempatan untuk mendapatkan perspektif, menyampaikan apa yang belum terucap, dan kembali dengan hati yang lebih ringan. Perjalanan waktu pada dasarnya menjadi metafora bagi refleksi. Bukan tentang apa yang ingin kita ubah, tetapi apa yang bisa kita pelajari dari apa yang telah terjadi.

“Sebelum Kenanganmu Menghilang” adalah novel yang sangat manusiawi, penuh empati, dan penuh harapan. Novel ini tidak menghindar dari aspek-aspek gelap kehidupan, tetapi juga tidak terjebak di dalamnya. Sebaliknya, ia menerima gagasan bahwa meskipun saat ini tidak dapat diubah, pemahaman kita terhadapnya bisa. Bahwa terkadang, hanya memiliki satu momen terakhir—meskipun singkat dan terbatas—sudah cukup untuk membawa ketenangan.

Bagi para penggemar serial ini, buku ini menawarkan kelanjutan yang memuaskan dan memperdalam dunia karya Kawaguchi. Bagi pembaca baru, buku ini tetap dapat dibaca sebagai karya mandiri, meskipun memiliki pemahaman terhadap buku-buku sebelumnya akan tentu meningkatkan pengalaman membacanya. Buku ini cocok bagi mereka yang menyukai fiksi karakter yang tenang dengan sentuhan realisme magis—dan bagi siapa pun yang pernah merindukan satu percakapan tambahan, satu perpisahan terakhir, atau kesempatan kedua.

Novel ini tidak menawarkan putaran alur yang besar atau aksi yang cepat, tetapi menyajikan momen-momen pribadi yang menggugah hati. Ini mengajukan beberapa pertanyaan yang tak pernah usang—apa yang akan kamu katakan kepada seseorang jika kamu punya kesempatan terakhir? Pembaca dapat mengharapkan tema-tema tentang duka, cinta, kesehatan mental, dan penyembuhan yang diintegrasikan ke dalam setiap halaman. Buku ini memiliki resonansi terutama bagi mereka yang sedang menghadapi kehilangan, perubahan, atau jarak emosional. Pesan yang bisa saya rasakan adalah bahwa meskipun kita tidak bisa menulis ulang masa lalu, kita bisa mengubah cara kita membawanya.

Di masa yang penuh dengan cerita cepat dan narasi berbasis alur, ‘Sebelum Kenanganmu Menghilang’ dengan lembut mengingatkan kita akan kekuatan ketenangan. Ia bertanya: Apa yang akan kau katakan jika kau bisa kembali? Dan mungkin lebih penting lagi, apa yang menghalangimu untuk mengatakannya sekarang?

——-

Sebelum Ingatanmu Menghilang

Penulis: Toshikazu Kawaguchi

Penerbit: Picador

Tahun: 2018

Halaman: 256

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top